PERAN WALISOMGO DALAM PERADABAN
ISLAM INDONESIA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Hj. Musafak Lc.
![]() |
Disusun
oleh :
1. Iis Miftah Huljanah NIM :
113027
2. Uswatun Khasanah NIM :
3. Nyami NIM :
SEKOLAH TIMGGI AGAMA
ISLAM PATI
JURUSAN TARBIYAH
(PAI)
2013
Kata Pengantar
Assalamu’alakum Wr.
Wb.
بِسْــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Pertana penulis panjatkan puji
dan syukur keoada Allah SWT. Karena atas ridhonga makalah ini bisa kami
selesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang kita nanti-nantikan syafaatnga di yaumul Qiyanah.
Yang ke dua penulis juga
menyampaikan apresiasi yang sangat luas kepada semua pihak yang ikut membantu
penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa
materi maupun pemikirannya. Tidak lupa ucapkan terima kasih juga kami sampaikan
kepada dosen Sejarah Peradaban Islam inpirasi dan motifasi.
Penulis sadar
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik maupun saran yang
bersifat konstruktif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat,
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pati, Desember 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Seperti
yang kita ketahui selama ini bahwa proses perkembangan Islam di Indonesia
melewati berbagai zaman yang di antaranya seperti zaman rosul dan sahabat,
zaman dinasti Abbasiyah, zaman dinasti Uma’iyah, pada masa Orde lama, dan juga
pada zaman Kemal At-Tattur di Turki. Dan yang paling berpengaruh dan dikenal di
pulau Jawa yaitu sejarah tentang peradaban Islam pada masa walisongo.
Walisongo
mempunyai peranan penting dalam proses peradaban islam di tanah jawa, karena
kebudayaan-kebudayaan Hindu Budha telah berhasil di adaptasikan dan di
interprestasikan menjadi budaya islam, tentunya tidak menyimpang dari Islam
sendiri, dan yang pasti dapat menjadi hiburan untuk masyarakat. Bahkan hingga
kini masih sering kita dengar tembang-tembang dari tokoh walisongo.
B. Rumusan Masalah
1. Peran Walisongo Dalam
Peradaban Islam Indonesia ?
2. Walisongo Dan Dakwah Islam ?
3. Model
Penyebaran Islam Walisongo ?
4. Kemajuan Islam Periode Walisongo
?
C. Tujuan
1. Menjeleskan Peran Walisongo
Dalam Peradaban Islam Indonesia. 2. Menjelaskam Walisongo Dan Dakwah
Islam.
3. Menjeleskan Model Penyebaran Islam Walisongo.
4.
Menjeleskan Kemajuan Islam Periode Walisongo.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Peran Walisongo Dalam
Peradaban Islam Indonesia .
Walisongo berarti sembilan orang wali.
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung
Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan
guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan
Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik
Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan
Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga.
Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim
yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal
abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua
institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peadaban Islam
berkembang ke
seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri
dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga[1]
Pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa Tentu
banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang
lain.Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran
Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib”
bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus
dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan
Budha.
b.
Walisomgo Dan Dakwah Islam.
Telah masyhur di kalangan sejarawan, ulama, dan
tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di Indonesia atas jasa Walisongo dan
murid-muridnya. Sebelumnya, usaha dakwah telah dilakukan orang, tapi lingkupnya
sangat terbatas.
Harian Duta Masyarakat mengungkap, sebenarnya
Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno
Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di
pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya
di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu
pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746
H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafii. Tapi baru abad
9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal (Duta Masyarakat,
28-30 Maret 2007). Masa itu adalah masa dakwah Walisongo.
Dakwah Kultural = Dakwah Damai
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat,
Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan
cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi
budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah
kultural.
Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan baik semua atau sebagian dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan baik semua atau sebagian dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha,
sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama
tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh
agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan
“teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash
syariat.
Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan
kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha
menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian,
maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan
menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan
wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya.Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak
Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara
dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai,
Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip
padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon
pemimpin agama.
C. Model
Penyebaran Islam Walisongo.
a.
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana
Malik Ibrahim bersal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang
ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M.
Beliau adalah seorang Walisongo yang
dianggap sebagai ayah dari Walisongo.
Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H/1419 M. Jauh sebelum beliau datang
Islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan makam Fatimah binti
Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Agama dan
istiadat tidak langsung di tentang dengan frontal dan penuh kekerasan oleh
agama Islam. Beliau mengenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang di ajarkan
oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat,
tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, hormat kepada
orang tua dan menyayangi kaum muda. Dengan cara itu ternyata sedikit demi
sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada agama Islam dan pada
akhirnya mereka menganut agama Islam.
Sunan Gresik
menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama, hanya orang
yang beriman dan bertaqwa yang kedudukannya tinggi disisi Allah SWT. berbeda
dengan ajaran Hindu yang mengenal perbedaan kasta dalam bermasyarakat. Dan
untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan Islam, beliau
mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan
menggembleng para santri sebagai calon para mubalig.
Syaikh Maulana
Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal
dan mendalami agama Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan
air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. [2][19][19]
b. Raden
Rahmat (Sunan Ampel)
Raden Rahmat
Ali adalah cucu Raja Cempa, ayahnya bernama Ibrahim Asmara Kandi yang menikah
dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candra Wulan. Beliau lahir pada tahun 1400. Raden Rahmat dalam usahanya menyebarkan
agama Islam, beliau langsuung menuju Majapahit. Tetapi sebelum itu, Raden
Rahmat singgah di Tuban dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki
Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian mereka beserta keluarganya masuk
Islam. Dengan adanya kedua orang ini, Raden Rahmat semakin mudah mengadakan
pendekatan kepada masyarakat sekitar. Beliau tidak langsung melarang masyarakat
yang masih menganut adat istiadat lama, tapi beliau berdakwah sedikit demi
sedikit mengajarkan tentang ketauhidan. Beliau menetap di Ampel Denta dan
kemudian disebut dengan Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren
tempat putera bangsawan dan pangeran Majapahit, dan untuk siapa saja yang ingin
berguru kepadanya. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478M, dan dimakamkan di
sebelah masjid Ampel.[3][20][20]
c. Raden Paku (Sunan Giri)
Beliau adalah
putra dari Syekh Maulana Ishak. Nama kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra,
ibunya bernama Sekardadu, putri Raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu. Beliau lahir pada tahun sekitar
1443, dan wafat pada tahun 1506 M. Masa kecilnya diasuh oleh janda kaya
raya Nyai Gedhe Pinatih. Menjelang
dewasa beliau berguru kepada Suana Ampel. Jaka Samudra diberi gelar oleh Sunan
Ampel Raden Paku.
Ketika Sunan
Ampel ketua para wali wafat Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas
usulan sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian
gelar itu jatuh pada tanggal 9 Maret 1487 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi
kota Gresik.
Dakwah Islam
sunan Giri menggunakan jalur politik dan budaya, Sunan Giri menciptakan:
1) Permainan
jetungan
2) Jamuran
3) Gula ganti
4) Cublak-cublak
suweng
5) Tembang
asmarandhana
d. Raden
Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang).
Nama aslinya
adalah Raden Makdum Ibrahim,
beliau putra Sunan Ampel. Beliau
diperkirakan lahir pada tahun 1440 di Mbonang, dan wafat pada tahun 1525. Sunan Bonang
terkenal sebagai ahli Ilmu Kalam dan Tauhid.
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah Jawa,
beliau berdakwah di daerah Tuban.
Caranya
berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending yang disebut
bonang, sehingga rakyat Tuban dapat tersentuh hatinya untuk masuk masjid. Beliau
membunyikan bonang, rakyat yang mendengarnya seperti terhipnotis terus
melangkah ke masjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini
sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu baru menanamkan
pengertian sebenarnya tentang Islam.[5][22][22]
e.
Raden Qasim (Sunan Drajat).
Sunan Drajat
adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1450. Nama lain dari
Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim
mendirikan surau dan pesantren. Banyak orang yang datang untuk berguru agama
Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai dan berkembang menjadi kampung
besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian dirubah menjadi Banjaranyar. Beliau
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah
bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa memaksa. Dalam
penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat pengajian secara
langsung dimasjid atau di langgar. Kedua melalui pendidikan di pesantren.
Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat melalui
kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan Drajat
juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu sudah
mendarah daging dikalangan masyarakat. Salah satu tembang ciptaan beliau adalah tembang Mijil. Sunan
Drajat juga terkenal dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang
kalunyon lan wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang
kang kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang
yang kelaparan,
memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan memberi payung kepada orang
yang kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di dalam Islam yang akan tetap
relevan sampai kapanpun.
Pada masa akhir
Majapahit terjadi krisis sosial, ekonomi, politik. Sunan Drajat menjadi juru
bicara yang membela rakyat tertindas. Beliau mengecam tindakan elit politik
yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi. Dalam bidang
sastra budaya beliau menciptakan:
1) Berpartisipasi
dalam pembangunan masjid Demak
2) Membantu Raden
Patah
f.
Raden Sahid (Sunan Kalijaga).
Nama aslinya
adalah Raden Sahid, putera dari Raden Sahur putera Temanggung Wilatikta Adipati
Tuban. Beliau lahir pada tahun 1400.
Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan taat terhadap agama dan
orang tua, tetapi beliau tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang banyak
terjadi ketimpangan. Hingga akhirnya beliau mencari makanan dari gudang
kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Akibat hal tersebut, Raden Sahid
dicambuk dan diusir oleh ayahnya.
Dalam
pengembaraannya, beliau bertemu dengan seorang berjubah putih, beliau adalah
Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, dan diberi amanat untuk
menunggui tongkat di depan kali sampai tanpa disadari tubuh Raden Sahid
berlumut.[7][24][24] Dari hal ini,
maka beliau dikenal dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga
adalah salah satu diantara sederetan para wali yang dianggap paling kreatif
dalam menerapkan ajaran keIslaman dengan konteks lokal. Seni pewayangan yang
semula kental dengan warna Hinduisme-India, disulap menjadi sebuah pertunjukan
yang bernuansa Islami. Sunan Kalijaga juga piawai dalam meramu kesenian lokal,
sehingga menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan bagi masyarakat kala itu.
Momen tersebut dimanfaatkan Sunan Kalijaga untuk menyampaikan wejangan-wejangan
keIslaman, terutama yang bernuansa tasawuf.[8][25][25]
g.
Ja’far Shodiq (Sunan Kudus).
Nama asli
beliau adalah Ja’far Shodiq, putera Sunan Ngudung (Raden Ngusman Aji bin Raja
Pandita bin Ibrahim Asmarakandi bin Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Zainul
Alim bin Zainal Abidin bin Sayid Husein bin Ali, suami Fatimah binti Rasulullah
SAW) dari Jipang Panolan.[9][26][26] Beliau lahir
pada abad 15 M atau 9 H.
Dan diperkirakan wafat pada tahun 1520an. Kakek Sunan
Kudus adalah saudara Sunan Ampel. Meskipun namanya Sunan Kudus beliau bukanlah
asli Kudus. Dia datang dari Demak.
Sunan Kudus
adalah seorang tokoh yang kuat, serta gagah berani. Karena keberaniannya yang
luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang. Setelah pengikutnya
semakin banyak Sunan Kudus mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat
penyebaran agama. Masjid yang dibangunnya adalah Masjid Menara Kudus. Tidak ada
kepastian kapan menara Kudus didirikan.
Hanya saja tiap-tiap atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi gapura
rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 jawa atau 1685 M (gapura=6, rusak=0,
ewahing=6, jagad=1).
Sengkalan tersebut hanya menunjukkan bahwa ketika itu terjadi perbaikan atap yang mulai
rusak. Jadi bangunan itu kira-kira didirikan beberapa puluh tahun sebelumnya.
Bangunannya bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip Candi Jago, makam raja
wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M di dekat Malang.
Sunan Kudus
menciptakan karya satra dan budaya:
1) Tembang
Maskumambang
2) Tembang Mijil
3) Masjid Menara
Kudus
Sunan Kudus
terkenal dengan seribu satu kesaktiannya. Beliau dapat berbuat sesuatu di luar
kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa. Contohnya pada suatu ketika Sunan
Kudus memakan lele, kemudian sesudah tinggal kepala serta tulangnya, dibuanglah
oleh sunan ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal kepala dan tulang
itupun hidup.[10][27][27]
h.
Raden Umar Said (Sunan Muria).
Sunan Muria
adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak.
Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang telah dilakukan dengan
sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik Jawa (gamelan). Sasaran
yang digarap oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Oleh karena itu, Sunan
Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan karena itulah gelar Sunan
Muria diberikan oleh masyarakat.[11][28][28]
i.
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati).
Nama aslinya
adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah. Banyak versi yang
menceritakan tentang keberadaan Sunan Gunungjati ini, tetapi cerita yang
termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri Cina
bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara
Semanding.
Syarif Hidayatullah memang mempunyai
hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka menjalin hubungan baik tersebut,
pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan bertemu dengan kaisar Hong Gie,
serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho,
dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk agama Islam. Disini Sunan
Gunungjati membuka praktek pengobatan, dan banyak masyarakat Cina yang berobat
kepadanya. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh beliau untuk berdakwah.
Sunan Gunungjati membangun masjid
pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pembangunan
masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan Walisongo. Bahkan juga
diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan sebuah tiang tatal. Masjid
ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo untuk membicarakan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.[12][29][29]
B.
Kemejuan lslam Periode Walisongo.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah
pembukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai
permulaan Periode Modern. Semuia ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan
pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan
baru itu.
Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu penegtahuan dan teknologi modern itu. Kaum terpelajari Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern dalam Islamd an kata modernisme pun mulai pula diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia.
MAJU-MUNDURNYA UMAT ISLAM DALAM SEJARAH
Sebagai telah disebut pembaharuan dalam Islam timbul di periode sejaah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Dalam garis besarnya sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar; klasik, pertengahan dan modern.
1. Periode Klasik (650 – 1250 M)Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu penegtahuan dan teknologi modern itu. Kaum terpelajari Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern dalam Islamd an kata modernisme pun mulai pula diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia.
MAJU-MUNDURNYA UMAT ISLAM DALAM SEJARAH
Sebagai telah disebut pembaharuan dalam Islam timbul di periode sejaah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Dalam garis besarnya sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar; klasik, pertengahan dan modern.
Merupakan zaman kemajuan dan dibagi ke dalam dua fase. Pertama, fase Ekspansi, Integrasi dan Puncak Kemajuan (650 – 1000 M). Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur.
Di masa ini pulalah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non-agama, dan kebudayaan Islam. Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum, Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustami dan AL-Hallaj dalam mistisisme atau al-tasawwuf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih dalam falsafat, dan Ibn Al-Haysam, Ibn Hayyam, AL-Khawarismi, Al-Mas’udi dan Al-Razi daladm bidang ilmu pengetahuan.
Kedua, fase Disintegrasi (1000 – 1250 M). Di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasana khalifah menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di tahun 1258 M.
2. Periode Pertengahan (1250 – 1800 M)
Juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama, fase Kemunduran (1250 – 1500 M). Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan.
Kedua, fase Tiga Kerajaan Besar (1500 – 1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500 – 1700 M) dan zaman kemunduran (1700 – 1800 M). Tiga Kerajaan Besar yang dimaksud ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Periode Modern (1800 M – dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Di Periode Modern inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam.
TOKOH-TOKOH ISLAM
A. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpeindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain. Pengaruh terbesar ditinggalkannya kalau uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir.
Jamaluddin Al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897. Di tahun 1864 ia menajdi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolokan yang terjadi Al-Afghani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869.
Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, dan oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Cairo dan pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Di sanalaha ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur , para peserta terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dari Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi lain, dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat.
Dari Mesir Al-Afghani pergi ke Paris dan di sini ia diriikan perkumpulan Al-’Urwah Al-Wusqa. Anggotanya terdrii atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Sewaktu di Eropa Al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolp Churchil dan Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di Sudan secara damai. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.
Di tahun 1889 Al-Afghani diundang datang ke Persia untuk menolong mencari penyelesaian tentang persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris yang dianut pemerintah persia ketika itu. Al-Afghani tidak setuju dengan pemberian konsessi-konsessi kepada Inggris dan akhirnya timbul pertikaian paham antara Al-Afghani dan Syah nasir Al-Din. Di tahun 1896 Syah dibunuh oleh seorang pengikut Al-Afghani.
Atas undangan Sultan Abdul Hamid, Al-Afghani selanjutnya pindah ke Istambul di tahun 1892. Pengaruhnya yang besar di berbagai negara Islam diperlukan dalam rangka pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul.
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar di daerah yang demikian luas, pada tempatnyalah kalau dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik dari pada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam. Tidaklah salah kalau Stoddard mengatakan bahwa ia sedikit sekali memikirkan masalah-masalah agama dan sebaliknya memusatkan pemikiran dan aktivitas dalam bidang politik. Dan tidak pula mengherankan kalau Goldziher memandang Al-Afghani terutama sebagai tokoh politik dan bukan sebagai pemimpin pembaharuan dalam soal-soal agama.
Tetapi dalam pada itu tak boleh dilupakan bahwa kegiatan politk yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan, kalau kelihayan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dan diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam seeprti yang tercantum dalam al-Qur`an dan Hadits. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka.
Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam. Suatu sebab lain lagi ialah salah pengertian tentang maksud hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman.
Sebab-sebab kemunduran yang bersifat politis ialah perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing. Lemahnya rasa persaudaraan Islam juga merupakan sebab bagi kemunduran umat Islam.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Al-Afghani, ialah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya. Corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
Islam dalam pendapat Al-Afghani menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-undang dasar. Semasa hidupnya Al-Afghani memang berusaha untuk mewujdukan persatuan itu. Yang terkandung dalam ide pan-Islam ialah persaturan seluruh umat Islam. Bagaimapun ide-idenya banyak mempengaruhi pemikrian Muhammad Abduh tentang pembaharuan dalam Islam. Dan Abduh, sebagai gurunya juga, mempunyai pengaruh besar di dunia Islam.
B. Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah adalah anak seorang saudagar dan lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. di masa remaja ia telah pergi ke London untuk meneruskan studi dan di sanalah ia memperoleh kesarjanaannya dalam bidanghukum di tahun 1896. Pada tahun itu juga ia kembali ke India dan bekerja sebagai pengacara di Bombay. Tiada lama sesudah itu ia menggabungkan diri dengan Partai Kongres.
Pada tahun 1913 itu juga Jinnah dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Pada waktu itu ia masih mempunyai keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui ketentuan-ketentuan tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Untuk itu ia mengadakan pembicaraan dan perundingan dengan pihak Kongres Nasional India. Salah satu hasil dari perundingan ialah perjanjian Lucknow 1916. menurut perjanjian itu ummat Islam India akan memperoleh daerah pemilihan terpisah dan ketentuan ini akan dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar India yang akan disusun kelak kalau telah tiba waktunya.
Selanjutnya dalam Konferensi Meja Bundar London yang diadakan pada tahun 1930-1932 ia menjumpai hal-hal yang menimbulkan perasaan kecewa dalam dirinya. Ia memutuskan mengundurkan diri dari lapangan polotik dan menetap di London. Di sana ia bekerja sebagai pengacara. Dalam pada itu Liga Muslimin perlu pada pimpinan baru lagi aktif, maka di tahun 1934 ia diminta pulang oleh teman-temannya dan pada tahun itu juga ia dilih menjadi Ketua tetap dari Liga Muslimin. Dibawah pimpinan Jinnah kali ini, Liga Muslimin berobah menjadi gerakan rakyat yang kuat.
Dengan adanya perkembangan ini ummat Islam India, tiba-tiba mulai sadar, demikian Al-Biruni menulis, bahwa apa yang ditakutkan Sir Sayyid Ahmad Khan dan Vigar Al-Mulk sebelumnya, sekarang mulai menjadi kenyataan, kekuasaan Hindu mulai terasa. Para Perdana Menteri Punjab, Bengal dan Sindi juga mulai mengadakan kerjasama dengan Jinnah. Sokongan ummat Islam India kepada Jinnah dan Liga Muslimin bertambah kuat lagi dan ini ternyata dari hasil pemilihan 1946. di Dewan pusat (Central Assembly) seluruh kursi yang disediakan untuk golongan Islam, dapat diperoleh oleh Liga Muslimin. Kedudukan Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India mengenai masa depan Ummat Islam India bertambah kuat.
Di tahun 1942 Inggris telah mengeluarkan janji akan memberi kemerdekaan kepada India sesudah Perang Dunia 11 selesai. Pelaksanaannya mulai dibicarakan dari tahun 1945. dalam pada itu diputuskan untuk mengadakan sidang Dewan Kostitusi pada bulan Desember 1946, dan Jinnah melihat bahwa dalam suasana demikian sidang tidak bisa diadakan dan oleh karena itu meminta supaya ditunda. Setahun kemudian keluarlah putusan Inggris untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Dewan Konstitusi Pakistan dibuka dengan resmi dan keesokan harinya 15 Agustus 1947 Pakistan lahir sebagai negara bagi ummat Islam India. Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jenderal dan mendapat gelar Qaid-i-Azam (pemimpin Besar) dari rakyat Pakistan.
Pembaharuan-pembaharuan di India mempunyai peranan masing-masing, disengaja atau tidak, dalam perwujudan Pakistan. Sayyid Ahmad Khan denganm idenya tentang pentingnya ilmu pengetahuan, Sayyid Amir Ali dengan idenya bahwa Islam tidak menentang kemajuan modern, dan Iqbal dengan ide dinamikanya, amat membantu bagi usaha-usaha Jinnah dalam menggerakan ummat Islam India, yang seratus tahun yang lalu masih merupakan masyarakat yang berada dalam kemunduran, untuk menciptakan negara dan masyarakat Islam modern di anak benua India.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan
dalam makalah “Perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan dan peran
Walisongo” dapat
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Jawa melalui berbagai jalur, antara lain
melalui jalur perdagangan, tasawuf, pendidikan, politik,
kesenian, serta pernikahan. Tetapi jalur yang paling mendominasi
dalam pengislamisasian di Jawa adalah jalur perdagangan. Karena pada saat itu
Jawa merupakan daerah strategis untuk jalur perlintasan perdagangan dengan
negara-negara Timur Tengah yang mayoritas lebih dahulu beragama Islam. Dalam
hal pengislamisasian Islam di daerah Jawa, walisongo memang sangat berperan,
walaupun sebelum walisongo datang, terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa
Islam di Jawa telah ada di zaman sebelum kedatangan walisongo.
Setelah
walisongo datang ke Jawa, Islam menjadi semakin diminati sebagai agama
masyarakat sekitar. Seperti contohnya yaitu ajaran yang di ajarkan oleh Sunan
Gresik bahwa dalam Islam tidak mengenal kasta. Ini menunjukkan bahwa semua
manusia itu sama derajatnya dimata manusia, hanya saja akan berbeda derajat
tersebut dihadapan Allah bagi orang-orang yang beriman dan paling bertaqwa.
Dengan statement seperti itu, ternyata masyarakat sekitar yang pada awalnya
menduduki kasta Sudra, akhirnnya memilih Islam sebagai agama mereka yang tidak
mengenal pengkastaan. Kemudian Sunan Kalijogo dengan kekhasannya dalam
mendakwahkan Islam melalui kesenian wayang yang digemari masyarakat pada waktu
itu, ternyata juga mengundang minat masyarakat untuk memasuki agama Islam
sebagai agama ketauhidan yang mengenal Allah sebagai Tuhan mereka. Dan otomatis
masyarakat dengan sendirinya meninggalkan ajaran animisme dan dinamisme oleh
nenek moyang mereka. Dan masih banyak lagi peran Sunan-sunan yang dengan
trik-triknya mendakwahkan Islam di Jawa melalui pesantren, pembangunan masjid,
tembang Jawa, gamelan, serta hal-hal
lain yang mengundang minat masyarakat pada waktu itu sehingga Islam meluas
di Jawa sampai dewasa ini.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan tentang
masuknya Islam ke Jawa dan peran para Walisongo. Kami
sarankan agar pembaca mencari referensi lain untuk menambah wawasan Anda. Kami
mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan baik dalam segi tulisan, tanda baca, maupun kesalahan lainnya.
[2][19][19] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 194.
[3][20][20] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
[5][22][22] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 196.
[6][23][23] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti
Jenar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 232-234.
[7][24][24] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 197.
[8][25][25] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 113.
[9][26][26] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 240.
[11][28][28] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 258.
[12][29][29] Sumanto
Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa,
(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003), hlm. 252.
Boleh minta file nya kak??
BalasHapus